7.30.2012

ceritaku untukmu tentang dia

“Aku lupa menceritakan sesuatu padamu. Beberapa hari yang lalu, di café favoritku, aku bertemu dengan dia. Aku juga tak tahu kenapa kami bertemu saat aku tidak bersamamu. “Takdir” aku dengar ada seseorang yang berkata seolah menjawab pertanyaanku. Aku tidak tahu apakah orang itu sedang berkata padaku atau hanya sedang ngobrol dengan temannya. Aku rasa itu bukan suatu kebetulan, seperti ketika aku bertemu denganmu di alun-alun kota dan kita saling berpandangan dalam beberapa detik yang luar biasa, bukan kebetulan kau pergi ke alun-alun untuk sekedar berkeliling melepas penatmu, bukan kebetulan juga aku pergi ke alun-alun untuk membeli es puter, lalu kita berpapasan, saling tatap dan kemudian kau memberiku sebuah senuman, yang termanis yang pernah aku tahu dan akhirnya aku pun jatuh padamu. Semuanya sudah diatur,
semuanya sudah ada dalam peta hidup kita. Begitu juga dengan hari itu, takdir yang membawaku bertemu dengannya. Tahukah kamu? Dia begitu berbeda setelah kurang lebih 3 tahun aku tak melihatnya. Matanya sayu, dia kurus dan seperti tak punya semangat. Satu hal yang tak berubah darinya adalah model rambutnya.
Aku menyapanya lebih dulu karena dia lewat di depanku dan tak melihatku. Aku menyapanya dengan spontan. Aku panggil namanya dan dia berbalik. Dia tak mengenalku. “Mega” kataku dan dia tiba-tiba duduk di kursi tepat di depan kursiku. “Ya, aku tahu kau Mega dan aku tahu akan bertemu lagi denganmu. Kau tak berubah ya? Hahaha” katanya diakhiri dengan senyum hambar. Aneh. Aku pun tersenyum dengan sedikit memaksa. Kami pun mengobrol dan berkali-kali aku harus memaksakan diri untuk tersenyum karena guyonannya yang errr tidak lucu, sama sekali. Aku heran mengapa dia bisa tertawa sampai terbahak-bahak, mungkin dia juga memaksakan tawanya, supaya terlihat ceria di depanku sepertinya. Pada kalimatnya yang kesekian puluh aku coba menanyakan hal yang sedikit serius, ehem, seperti ini “Kau sedang apa disini? Ada janji?” entah itu pertanyaan penting atau tidak. “Mengingat, aku tak mau kehilangan” jawabnya sambil sedikit tersenyum. “Jawaban aneh” batinku. Dulu aku selalu terpesona dengan senyumnya, apapun yang ia katakan membuatku seperti sedang dihujani pujian, membuat aku sering senyum-senyum sendiri. Tapi sekarang, aku merasa begitu berbeda. Dia terlihat sedang menutupi sesuatu dengan tingkahnya yang pura-pura ceria. Entahlah, mungkin hanya perkiraannku saja. Ya, kau tahu kalau keburukanku adalah selalu berpikir tidak baik. Kembali ke obrolan kami, dia menceritakan pekerjaannya, dia menceritakan berbagai hal yang selama ini aku tak tahu, dia sudah pernah ke Venice untuk program dari kantornya. Aku iriiiiiiiiiii !! Aku dulu sering menceritakan padanya tentang keinginanku mengunjungi kota itu dan dia selalu bilang “better here, Indonesia lebih cantik lho” dan ternyata dia mendahuluiku. Tidak adil.
Kami saling berbagi cerita, aku mulai nyaman ngobrol dengannya. Aku merasa dia sedikit-sedikit mulai kembali seperti dulu. Tapi aku selalu menghindari kontak mata dengannya. Ah! jangan curiga, aku tidak nakal, aku hanya tak ingin memandang mata sayunya, aku hanya kasihan. Mungkin itu karena ibunya meninggalkannya beberapa bulan lalu sehingga masih menyisakan kesedihan di matanya. Mungkin aku akan pulang larut malam kalau kau tidak menjemputku waktu itu. Aku memotong perbincangan kami tentang PHK besar-besaran yang dilakukan pabrik rokok tempatnya bekerja. Aku pamit. Dia mengiyakan dan memaksaku untuk membiarkannya membayar semua yang telah kami makan dan minum, katanya sekalian untuk membayar kangennya pada café ini. Sedikit tak paham, aku biarkan saja karena aku buru-buru, kau telah menungguku di luar.
Kamu mencubit pipiku, “Sampai kapan kamu suka menyendiri seperti ini, cantik? Sudah berapa halaman tulisanmu? Kau tadi menulis kan?” tanyamu. Aku yang memang pamit padamu untuk pergi sendiri mencari inspirasi menjadi bingung mau menjawab apa. “Ya, menulis rencana masa depan kita sambil memikirkanmu, sambil nge-float laaah” jawabku. Kita tertawa bersama dan kau menjalankan motormu. Aku teringat sesuatu waktu kita lewat alun-alun kota dan kau berkata “Kau ingat, ini tempat yang selalu aku ingat, tempat kita bertemu. Kapanpun aku kangen padamu aku kesini, lho. Hahaha”. Deg! Aku ingat sesuatu. Aku ingat dia di café tadi. Dia juga bilang sedang mengingat dan ingin membayar kangen. Aku bertanya padamu waktu itu “Apa semua lelaki melakukan hal yang sama? Maksudku apakah kangen bisa hilang saat kau pergi ke tempat dimana kau pertama kali berjumpa dengan aku, pacarmu?”. Kamu tertawa dan menghentikan motormu tepat di rumahku. Aku segera turun dan langsung memandangmu karena ingin tahu jawabanmu. “Aku hanya aku sayang, aku tak tahu bagaimana lelaki lain, kangen tak sepenuhnya hilang sih, tapi aku yakin akan bertemu kamu lagi, mungkin kebetulan kau juga lagi di tempat itu”. Aku diam. Aku membiarkanmu meremas jemari tanganku. Maaf sayang, aku tak sedang memikirkanmu, aku memikirkan dia. Di café tadi itu tempat pertama kali aku dan dia bertemu. Apa dia kangen padaku? Apa dia sedang mengingatku dan juga berharap bisa bertemu aku?. “Ya, aku tahu kau Mega dan aku tahu akan bertemu lagi denganmu. Kau tak berubah ya? Hahaha” terngiang tiba-tiba. Aku sedikit gedhe rumongso memikirkan itu. Dia masih sayang aku sepertinya. Lamunanku tiba-tiba buyar saat kau mengecup pipiku dan pamit pulang”
“Tapi tenang sayang, aku tak memikirkannya lagi, kok”
“Sayang, kamu dengar semuanya kan?”. Kau tersenyum dan mencubit pipiku. “Iya sayang, aku dengar semuanya. Kamu seru banget ceritanya sampai taka da waktu buat aku menimpali. Hahaha. Ceritamu itu tadi dibikin novel saja, pasti laris”. Kita tertawa bersama. Aku selalu suka caramu membuatku tertawa”

Jika pada akhirnya aku membuat buku tentang cerita cinta, kamu tokoh utamanya, dia hanya pendukung, menghidupkan cerita kita.

No comments:

Post a Comment