Pagi
ini sesorot cahaya matahari masuk melalui celah jendela kamarku, menarik
selimutku dan kemudian membisikkan sebuah kata “bangun”. Bantal dan kasurku
juga turut membangunkanku dengan sopan. Aku terbangun. Bukan karena mereka
namun karena mimpi. Aku bermimpi
bertemu dengan sahabat lama di sebuah café
favoritku. Kami bercakap lama menceritakan apa saja yang terjadi dalam sepuluh
tahun terakhir ini. Kami berdua menyalami Tuhan yang telah mempertemukan kami
dalam kedewasaan, dalam senyuman hasil kerja keras dan dalam rasa saying yang
terbenam. Sahabatku itu mengenakan baju biru tua polos dan celana panjang slim fit executive yang entah kenapa memberi kesan bahwa dia sudah beristri.
Namun dalam mimpiku itu, dia bercerita bahwa dia masih belum terpikir untuk
menikah. Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku setelah itu. Yang aku ingat
hanya sahabatku itu memanggil pelayan untuk meminta bill, membayarnya kemudian berkata tepat di kedua mataku “Aku
pergi”. Aku terbangun karena kalimatmu itu, seolah kamu memang benar-benar
pergi dan tak akan menyapaku lagi. Kulempar selimutku yang masih
menutupi kakiku. Selimut itu tersenyum merasa dia berhasil membangunkanku.
Bersamaan dengan itu, cahaya matahari undur diri dari kamarku, kali ini dia
pergi menembus kaca jendela, tidak sopan.
Aku bergegas mandi setelah menyapa jam dinding
kecil di sebelah cermin riasku. 06:50, aku selesai mandi. Aku merapikan
setelahku, baju kerja chiffon clay senada
dengan rok sebatas lutut. Aku teringat ayahku pernah berkata warna tanah tak
pernah coock dengan kulitku tapi aku tak pernah mendengarkannya. Aku suka warna
ini. Warna yang bisa menaikkan kadar kepercayaan diriku da juga bisa memberikan
sinar lembutnya kalau aku sedang ada pada last
minute batas pengumpulan tugas kantor. Agak tidak nyambung memang, tapi
itulah yang aku rasakan. Polesan lipstick
merah jambu melebarkan senyumku. Aku lari-lari kecil menuju mobilku.
Kesalahanku semaam adalah memarkir mobil luar biasa jauhnya dari pintu utama
apartemen. Semalam aku memang ingin jalan-jalan menikmati buaian angin malam
dan sapaan lingkungan apartemenku. Namun parker mobil sejauh ini justru membuat
aku mengumpat sendiri di pagi seperti ini, aku harus cepat sampai kantor.
Mobilku
berjalan di sisi kiri jalan, walaupun aku takut terlambat, aku juga ingin
menatapi jejeran bangunan tua di jalan utama kotaku ini. Aku berhenti tepat di
depan satu bangunan berwarna coklat kayu. Pintunya tertutup. Payung-payung meja
di depan bangunan itu juga masih teringkup. Ada tulisan “closed” yang ditulis dengan kapur di papan hitam kecil dan
digantung di salah satu sisi jendela. Itu café favoritku. Tempat aku
dan sahabatku bertemu semalaman, dalam mimpi, dalam ketidaksadaranku. Dalam
mimpi itu dia menceritakan mimpi-mimpinya yang beberapa sudah ia taklukkan. Café ini dalam mimpiku adalah salah satu
mimpinya yang sudah ia dapatkan. “Kalau ini cafému,
mengapa harus bertindak normal meminta bill lalu membayar. Mengapa juga harus
pergi meninggalkan cafemu sedangkan
kau bisa saja pergi ke dapur mengecek bagaimana kerja karyawanmu. Oh iya, aku
ingat, kau pergi untuk menaklukkan mimpi yang lain, kan?
No comments:
Post a Comment