8.02.2013

Pada siapa saja kau membagi mimpi?

Pagi ini sesorot cahaya matahari masuk melalui celah jendela kamarku, menarik selimutku dan kemudian membisikkan sebuah kata “bangun”. Bantal dan kasurku juga turut membangunkanku dengan sopan. Aku terbangun. Bukan karena mereka namun karena mimpi. Aku bermimpi bertemu dengan sahabat lama di sebuah café favoritku. Kami bercakap lama menceritakan apa saja yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir ini. Kami berdua menyalami Tuhan yang telah mempertemukan kami dalam kedewasaan, dalam senyuman hasil kerja keras dan dalam rasa saying yang terbenam. Sahabatku itu mengenakan baju biru tua polos dan celana panjang slim fit executive yang entah kenapa memberi kesan bahwa dia sudah beristri. Namun dalam mimpiku itu, dia bercerita bahwa dia masih belum terpikir untuk menikah. Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku setelah itu. Yang aku ingat hanya sahabatku itu memanggil pelayan untuk meminta bill, membayarnya kemudian berkata tepat di kedua mataku “Aku pergi”. Aku terbangun karena kalimatmu itu, seolah kamu memang benar-benar pergi dan tak akan menyapaku lagi. Kulempar selimutku yang masih menutupi kakiku. Selimut itu tersenyum merasa dia berhasil membangunkanku. Bersamaan dengan itu, cahaya matahari undur diri dari kamarku, kali ini dia pergi menembus kaca jendela, tidak sopan.
 Aku bergegas mandi setelah menyapa jam dinding kecil di sebelah cermin riasku. 06:50, aku selesai mandi. Aku merapikan setelahku, baju kerja chiffon clay senada dengan rok sebatas lutut. Aku teringat ayahku pernah berkata warna tanah tak pernah coock dengan kulitku tapi aku tak pernah mendengarkannya. Aku suka warna ini. Warna yang bisa menaikkan kadar kepercayaan diriku da juga bisa memberikan sinar lembutnya kalau aku sedang ada pada last minute batas pengumpulan tugas kantor. Agak tidak nyambung memang, tapi itulah yang aku rasakan. Polesan lipstick merah jambu melebarkan senyumku. Aku lari-lari kecil menuju mobilku. Kesalahanku semaam adalah memarkir mobil luar biasa jauhnya dari pintu utama apartemen. Semalam aku memang ingin jalan-jalan menikmati buaian angin malam dan sapaan lingkungan apartemenku. Namun parker mobil sejauh ini justru membuat aku mengumpat sendiri di pagi seperti ini, aku harus cepat sampai kantor.
Mobilku berjalan di sisi kiri jalan, walaupun aku takut terlambat, aku juga ingin menatapi jejeran bangunan tua di jalan utama kotaku ini. Aku berhenti tepat di depan satu bangunan berwarna coklat kayu. Pintunya tertutup. Payung-payung meja di depan bangunan itu juga masih teringkup. Ada tulisan “closed” yang ditulis dengan kapur di papan hitam kecil dan digantung di salah satu sisi jendela. Itu café favoritku. Tempat aku dan sahabatku bertemu semalaman, dalam mimpi, dalam ketidaksadaranku. Dalam mimpi itu dia menceritakan mimpi-mimpinya yang beberapa sudah ia taklukkan. Café ini dalam mimpiku adalah salah satu mimpinya yang sudah ia dapatkan. “Kalau ini cafému, mengapa harus bertindak normal meminta bill lalu membayar. Mengapa juga harus pergi meninggalkan cafemu sedangkan kau bisa saja pergi ke dapur mengecek bagaimana kerja karyawanmu. Oh iya, aku ingat, kau pergi untuk menaklukkan mimpi yang lain, kan?


No comments:

Post a Comment