Rasa kehilangan yang terbesar itu
muncul ketika hampir kehilangan. Kamu tidak benar-benar kehilangan namun kamu
juga tidak pernah tahu apakah kamu dan orang-orang di sekelilingmu dapat
menggenggam sesuatu yang hampir hilang itu. Itu suatu waktu yang panjang. Suatu
perasaan yang tak terdefinisikan. Susah untuk mengungkapkannya dalam barisan
suku kata, namun aku yakin kamu bisa memahaminya karena aku tahu, kamu tak mau
dan tak akan rela ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang awalnya kamu miliki
sepenuhnya.
Aku pernah hampir kehilangan.
Seringkali. Dalam satu hari aku menghabiskan waktu di tempat kerjaku. Aku
sering keluar malam dengan teman-temanku-untuk urusan bisnis dalihku. Aku
jarang pulang. Aku jarang mencium tangan suamiku. Bahkan aku jarang mengantarkan
anakku sekolah. Sebenarnya seringkali mereka protes dengan laku mereka. Anakku
tak jarang nglamak padaku. Aku tahu
aku salah. Aku peka terhadap semua yang ada, tapi di luar lebih
membutuhkanku-aku pikir. Aku berjalan semauku. Menjadi pahlawan disana sini.
Aku turun ke jalan. Aku membagi beras pada mereka yang membutuhkan. Aku menjadi
ada ketika mereka mengharap aku ada. Aku mewujudkan semua janjiku pada mereka.
Janji yang aku umbar dan berserakan di setiap perempatan jalan, menempel di
pohon-pohon, mengotori jalanan, fasilitas umum, dimana-mana. Mungkin semua
orang mengenalku karena aku rajin mengunjungi tempat-tempat umum mengadakan
acara pentas dangdut populer. Aku sangat baik hati bahkan mungkin orang yang
aku bayar untuk menyebarkan selebaran kampanyeku
membuang selebaran-selebaran itu ke kali tempat
mereka buang hajat juga, toh aku tidak tahu perbuatan mereka dan apabila tahu
pun aku akan memaafkan mereka. Semua bilang itu pencitraan agar aku mendapat
jabatan. Tapi semua salah, aku memang benar-benar baik hati. Pemaaf.
Suatu hari ada yang datang
menagih janji. Katanya aku pernah berjanji akan memeluknya, aku pernah
menariknya untuk memilihku tanpa kampanye, tanpa sembako, tanpa selebaran,
tanpa baliho perusuh jalanan. Katanya juga dia dari awal akan memilihku walau
aku tak memaksanya. Tapi kini dia
menagih janji. Aku sungguh tak ingat. Aku memberinya senyuman, setidaknya dia
akan tahu bahwa aku sungguh malaikat yang akan memeluknya.
Dia datang lagi. Aku sedang tidak
di rumah.
Dia datang lagi. Aku sedang
membuka acara kebudayaan nasional. Aku sedang tidak di rumah.
Aku di rumah. Dia tidak datang.
Aku di rumah. Dia tak datang
lagi.
Dia tidak pernah datang.
Dia tidak datang lagi. Tidak akan
pernah. Ah! Aku benci kalimat terakhir tadi.
Aku merindukannya. Merindukan dia
yang menjengkelkan ketika memaksaku untuk melakukan hal-hal aneh untuknya.
Merindukan argumennya yang selalu salah namun tertutup kepolosannya. Merindukan
harapan yang tanpa ia sengaja selalu terpancar dari wajahnya.
Dia sudah tiada. Aku takut. Aku takut
sekali kalau itu adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Saat itulah aku merasakan kehilangan yang amat sangat padahal dia belum hilang. aku hampir kehilangan tapi benar, rasanya lebih complicated dari kehilangan.
jangan tanya rumput mengapa dia hijau,
runutlah ke segala sisi agar tahu apa yang terjadi
No comments:
Post a Comment