10.31.2012

HAMPIR kehilangan


      Rasa kehilangan yang terbesar itu muncul ketika hampir kehilangan. Kamu tidak benar-benar kehilangan namun kamu juga tidak pernah tahu apakah kamu dan orang-orang di sekelilingmu dapat menggenggam sesuatu yang hampir hilang itu. Itu suatu waktu yang panjang. Suatu perasaan yang tak terdefinisikan. Susah untuk mengungkapkannya dalam barisan suku kata, namun aku yakin kamu bisa memahaminya karena aku tahu, kamu tak mau dan tak akan rela ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang awalnya kamu miliki sepenuhnya.
      Aku pernah hampir kehilangan. Seringkali. Dalam satu hari aku menghabiskan waktu di tempat kerjaku. Aku sering keluar malam dengan teman-temanku-untuk urusan bisnis dalihku. Aku jarang pulang. Aku jarang mencium tangan suamiku. Bahkan aku jarang mengantarkan anakku sekolah. Sebenarnya seringkali mereka protes dengan laku mereka. Anakku tak jarang nglamak padaku. Aku tahu aku salah. Aku peka terhadap semua yang ada, tapi di luar lebih membutuhkanku-aku pikir. Aku berjalan semauku. Menjadi pahlawan disana sini. Aku turun ke jalan. Aku membagi beras pada mereka yang membutuhkan. Aku menjadi ada ketika mereka mengharap aku ada. Aku mewujudkan semua janjiku pada mereka. Janji yang aku umbar dan berserakan di setiap perempatan jalan, menempel di pohon-pohon, mengotori jalanan, fasilitas umum, dimana-mana. Mungkin semua orang mengenalku karena aku rajin mengunjungi tempat-tempat umum mengadakan acara pentas dangdut populer. Aku sangat baik hati bahkan mungkin orang yang aku bayar untuk menyebarkan selebaran kampanyeku membuang selebaran-selebaran itu ke kali tempat mereka buang hajat juga, toh aku tidak tahu perbuatan mereka dan apabila tahu pun aku akan memaafkan mereka. Semua bilang itu pencitraan agar aku mendapat jabatan. Tapi semua salah, aku memang benar-benar baik hati. Pemaaf.
   Suatu hari ada yang datang menagih janji. Katanya aku pernah berjanji akan memeluknya, aku pernah menariknya untuk memilihku tanpa kampanye, tanpa sembako, tanpa selebaran, tanpa baliho perusuh jalanan. Katanya juga dia dari awal akan memilihku walau aku tak  memaksanya. Tapi kini dia menagih janji. Aku sungguh tak ingat. Aku memberinya senyuman, setidaknya dia akan tahu bahwa aku sungguh malaikat yang akan memeluknya.
Dia datang lagi. Aku sedang tidak di rumah.
Dia datang lagi. Aku sedang membuka acara kebudayaan nasional. Aku sedang tidak di rumah.
Aku di rumah. Dia tidak datang.
Aku di rumah. Dia tak datang lagi.
Dia tidak pernah datang.
Dia tidak datang lagi. Tidak akan pernah. Ah! Aku benci kalimat terakhir tadi.
   Aku merindukannya. Merindukan dia yang menjengkelkan ketika memaksaku untuk melakukan hal-hal aneh untuknya. Merindukan argumennya yang selalu salah namun tertutup kepolosannya. Merindukan harapan yang tanpa ia sengaja selalu terpancar dari wajahnya.
      Dia sudah tiada. Aku takut. Aku takut sekali kalau itu adalah kenyataan yang harus aku hadapi. Saat itulah aku merasakan kehilangan yang amat sangat padahal dia belum hilang. aku hampir kehilangan tapi benar, rasanya lebih complicated dari kehilangan.

jangan tanya rumput mengapa dia hijau, 
runutlah ke segala sisi agar tahu apa yang terjadi

No comments:

Post a Comment