Kamu menggoreskan tintamu yang
tersendat harap. Lalu kamu usap coretan berlebih dengan tisu bekas yang tak
sengaja kau temukan. Mulai lagi kamu menarikan pena di atas kanvas angan.
Tercoret lagi oleh angin yang mampir tanpa sepengetahuanmu. Kali ini kamu
biarkan. Tidak kamu bersihkan. Menurutmu kesalahan yang tidak kamu perbuat
kadangkala memperindah gambar. Kamu menceritakan padaku semua yang kamu gambar.
Kamu membiarkanku mengambil kesimpulan sendiri dari mozaik-mozaik kisah yang
kau paparkan dengan tidak terang. Kamu bilang untuk melatih kepekaan. Untuk
melatih kekritisanku yang selama ini tumpul. Aku hanya bisa mengiyakan.
Kamu mengakhiri ceritamu dengan
tatapan terang yang begitu ambigu untuk diterjemahkan. Kamu membuatku ragu
untuk segera menarik satu kalimat sebagai ikhtisar. Kamu tersenyum kecil tanda
menertawaiku. Kamu membenarkan ketumpulan otakku. Kamu membelakangiku seolah
kamu menyesal menceritakan semua –padaku yang tidak tahu apa-apa. Kamu bahkan
tidak mendengarkan teriakan hatiku bahwa aku memang tidak mengerti namun aku
ingin mendengar ceritamu. Mungkin aku harus mendengarkannya berulang kali agar
aku mengerti. Kamu bahkan tidak akan peduli pada sesenggukanku yang tidak aku
sengaja.
“Kamu akan mengerti semua jika
kamu berusaha mencapai tujuanmu sendiri, menemukan rupa bahagia” kamu menutup
hari ini –hanya kamu, aku dan Tuhan yang tahu.
No comments:
Post a Comment