Ingatkah saat kau mendapatiku mengamatimu dari balik deretan sepeda. Lalu kau tersenyum ke arahku dan serta merta aku sibuk membuka tas seolah mencari sesuatu. Keesokan harinya, kau melemparkan padaku kertas kecil yang akhirnya aku buka setelah dahiku mengerut penuh kau jawab dengan senyum simpul yang bahkan sampai sekarang aku ingat detailnya. Kau ingat apa yang kau tulis waktu itu?
Jika tidak, tak apa, mungkin kau ingat yang satu ini.
Siang itu kau datang duduk di depanku, membolak- balik buku yang sedang kubaca. Kau membuatku kesal dan senang pada satu waktu. Aku akhirnya menutup buku dan menceritakan isi buku itu padamu. Ingat kan? Iya, itu kali terakhir kau umbar senyummu. Hanya untukku.
Lalu aku menunggu.
Menunggu.
Maafkan aku yang telah lancang melemparkan namamu ke langit, setiap waktu. Maafkan aku yang telah entah berapa kali berani menggambar sosokmu di kanvas harianku. Maafkan aku yang tak berhenti mengharapkanmu. Aku memaafkanmu karena ragu. Karena pergi begitu saja waktu itu.
Jika tidak, tak apa, mungkin kau ingat yang satu ini.
Siang itu kau datang duduk di depanku, membolak- balik buku yang sedang kubaca. Kau membuatku kesal dan senang pada satu waktu. Aku akhirnya menutup buku dan menceritakan isi buku itu padamu. Ingat kan? Iya, itu kali terakhir kau umbar senyummu. Hanya untukku.
Lalu aku menunggu.
Menunggu.
Maafkan aku yang telah lancang melemparkan namamu ke langit, setiap waktu. Maafkan aku yang telah entah berapa kali berani menggambar sosokmu di kanvas harianku. Maafkan aku yang tak berhenti mengharapkanmu. Aku memaafkanmu karena ragu. Karena pergi begitu saja waktu itu.
No comments:
Post a Comment