"Satu tahun empat bulan." katamu di ujung telepon. Kau tak tahu disini aku tersenyum kecil. Malu-malu. Aku terdiam sampai-sampai tidak menangkap kalimat-kalimat yang setelahnya kau ucapkan.
"Eh? Apa?" saat kau memanggilku. Agaknya kau tahu aku tidak mendengarkan. Aku buyar dalam lamunan. Aku memintamu mengulangi apa yang baru saja kau katakan dengan dalih aku tidak mendengar. Tapi sekali lagi, aku tak bisa menangkap kata-katamu. Padahal aku tidak sedang melamun. Lalu kau tertawa. Aku juga.
Akhir 2014, kau berjanji menjemputku ba'da maghrib. Sejak sebelum maghrib aku sudah memegang ponselku saking takutnya aku melewatkan panggilanmu. Tak lama aku sudah duduk-duduk menunggumu. Aku ingat saat itu tak ada penerangan, tapi aku tahu kau akan datang. Aku lupa apa kita sempat makan malam bersama atau sekedar menghabiskan waktu berdua sampai larut. Yang kuingat aku senyum-senyum sendiri di bis yang mengantarku pulang. Pertama kali kita tertawa berdua selepas itu.
Akhir 2015, aku berjanji pada diriku sendiri untuk lebih jelas menggambar apa yang ingin aku lakukan. Lalu kuralat sendiri menjadi apa yang akan aku lakukan. Kau menemaniku dari jauh. Membuatku terbiasa dengan suaramu yang tak habis-habis memarahi setiap ketidaktelitianku yang terjadi di sepanjang tahun. Aku juga akhirnya berhasil membuatmu terbiasa dengan video call yang awalnya tak kau suka. Akhir tahun ini sungguh manis. Pertama kali kita berdoa bersama. Menjadi awal tahun-tahun selepas itu.
Akhir 2016, kau ternyata secepat itu memahamiku. Kau mau mendengarkan semua apa yang aku rasakan tanpa sedikitpun mengeluh. Kau biarkan aku belajar jujur dan berani. Kau tidak meninggalkanku bahkan saat aku bilang pergi. Tahun ini terlalu mudah untukmu? Kurasa tidak juga untukku. Tahun kedua kita saling memeluk dari jauh. Menjadi awal gambar terang mimpi selepas itu.
No comments:
Post a Comment